Jumat, 20 April 2018

Hampir Tidak Ada Layanan Gratis 100 Persen di Dunia Siber

Foto rilis : Dr Rudi Lumanto (dua dari kanan)
Foto rilis : Dr Rudi Lumanto (dua dari kanan)

Kuala Lumpur (17/4) -- Dunia siber memiliki ancaman lebih besar daripada dunia riil, baik ancaman secara ekonomi atau politik dalam bentuk cyber crime, teror maupun perang. Oleh karena itu, negara-negara anggota ASEAN perlu menerapkan pendekatan terbaru agar dapat mengantisipasi dampak ancaman tersebut atau setidaknya mengurangi dampak resikonya.
Demikian pandangan pakar keamanan siber dari Indonesia, Dr. Rudi Lumanto, dalam konferensi kelima Putra Jaya Forum di Kuala Lumpur, Malaysia. Konferensi diadakan berbarengan dengan pameran produk-produk pertahanan dari seluruh dunia dan dihadiri petinggi militer baik dari angkatan darat, laut maupun udara dari berbagai negara.
Konferensi dibuka PM Malaysia Datuk Seri Najib Tun Razak, bertemakan “Rekalibrasi Arsitektur Keamanan Regional”. Selain membahas topik keamanan konvensional-militer, juga dibicarakan keamaan siber. Untuk tema keamanan nasional dan regional, tampil pembicara para Menteri Pertahanan dari Indonesia, Malaysia, Singapura dan Filipina.
Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu menyampaikan prasaran untuk menjaga dan meningkatkan keamanan regional dari tantangan keamanan global. “Kita perlu meningkatkan kerjasama multilateral antara anggota ASEAN dan mengimplementasikan secara optimal usulan Indonesia yang sudah disetujui sebelumnya, yaitu sistem pengawasan regional ‘Our Eye’,” jelas Ryamizard. Sistem itu semacam ‘Five Eye’ yang dimiliki oleh Amerika Serikat dan sekutunya.
Dalam sesi keamanan siber, Rudi Lumanto, yang dikenal sebagai Ketua ID-SIRTII menekankan langkah-langkah yang perlu dijalankan dalam membentuk ASEAN yang handal berdasarkan peta ancaman siber yang dihadapi. “Langkah pertama adalah membangun kesadaran dan mindset pencegahan dalam setiap aktivitas siber,” ujar Rudi. Ia memberi contoh, hampir tidak ada layanan yang gratis 100 persen di dunia siber.
“Masyarakat ASEAN punya kecenderungan menyukai yang gratis,” kata Rudi, yang juga aktif dalam dunia pendidikan sebagai Ketua Yayasan Profesi Terpadu Nurul Fikri dan mengelola STT Nurul Fikri. “Bahkan meskipun untuk itu mereka beresiko kehilangan aset data-data pribadi yang justru sekarang ini sangat tinggi nilainya.”
Data bulan Januari 2018 menyebutkan bahwa pengguna Facebook terbesar di dunia adalah masyarakat ASEAN. Demikian pula dengan pengguna Google, rata-rata mengira bahwa mereka mendapatkan layanan gratis. Padahal, sesungguhnya data pengguna Facebook atau Google lewat berbagai macam cara diprofiling dan dimanfaatkan untuk kepentingan komersial. Tahun 2017, Google mendapatkan pemasukan sebesar USD 109 miliar dari jasa tersebut, sesuatu yang tidak mungkin didapatkan jika hanya memberikan layanan super gratis.
Peneliti Center for Strategic Development Studies(CSDS), Sapto Waluyo, melihat perlunya perlindungan data pribadi bagi para pengguna platform komunikasi media sosial. Indonesia belum punya payung hukum yang kuat. “Dulu pernah dirancang RUU Perlindungan Data Pribadi oleh Kementerian Kominfo. Tetapi, kabarnya diambil alih sebagai inisiatif DPR. Semoga segera bisa dituntaskan,”Sapto berharap.
Aturan mengenai data pribadi sangat krusial karena tren data semakin meluas di luar sektor telekomunikasi dan informasi. Beberapa waktu lalu, masyarakat dikejutkan dengan kewajiban registrasi pemegang kartu selular. Saat ini, masyarakat hanya memiliki payung hukum perlindungan data pribadi melalui Peraturan Menteri (Permen) Kominfo Nomor 20 Tahun 2016. Karena itu, harus diperkuat agar masyarakat tidak menjadi korban pihak manapun yang mengeksploitasi data pribadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar